8 Sejarah Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra, Lengkap Mudah Dipahami!

Masuknya agama lslam ke Nusantara melahirkan kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra secara tidak langsung membawa perubahan terhadap kehidupan politik dan sosial budaya di Nusantara. Perubahan dalam bidang politik, konsep dewa raja yang bercorak Hindu-Buddha (di mana raja dianggap sebagai titisan dewa) diganti dengan konsep Islam kafilah. Sebutan raja diganti menjadi sultan. Selain Kesultanan Samudera Pasai, masit banyak lagi kesultanan-kesultanan lslam di Sumatra yang bercorak lslam. Berikut akan kita pelajari.

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra

Menurut catatan Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515), diceritakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan di pesisir barat Sumatra terdapat banyak kesultanan-kesultanan Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Kesultanan-kesultanan tersebut, antara lain Aceh, Biar dan Lambiri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkol, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, serta Barus. Kesultanan-kesultanan Islam tersebut menurut Tome Pires, ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada yang sedang mengalami perkembangan, dan ada juga yang sedang mengalami keruntuhan.

Kesultanan Samudera Pasai

Kesutanan-kesultanan Islam di Sumatra yang pertama adalah Samudera Pasai. Diperkirakan Kesultanan Samudera Pasai berkemtbang pada abad ke-13. Kesultanan Samudera Pasai terletak +15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis yang terbuat dari emas dan dramas. Berikut sumber sejarah yang menerangkan Kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra, yaitu Samudera Pasai.

  1. Berita Marcopolo, yang menerangkan Marcopolo singgah di daerah Samudera Pasai pada tahun 1292 M.
  2. Berita Tome Pires, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1512-1515 M pernah berkunjung ke daerah pesisir utara dan timur daerah Sumatra
  3. Berita lbnu Battuta, seorang musatir dari Maroko yang singgah di Samudera Pasai,
  4. Nisan Sultan Malik as-Saleh, berangka tahun 696 H/1297 M.
  5. Hikayat sultan-sultan Pasai, karangan Hamzah Fansuri dari abad ke-15.
  6. Sejarah Melayu yang menceritakan kehidupan Sultan Malik as-Saleh.
  7. Nisan kubur Ratu Nahrisyah, berangka tahun 1428 M.
  8. Mata uang logam emas dirham yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Muhammad.

Menurut kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Sultan-Sultan Pasai, Sultan Malik as-Saleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah menganut Islam berganti nama menjadi Malik as-Saleh. Malik as-Saleh merupakan sultan pertama Kesultanan Samudera Pasai. Sultan-sultan yang pernah memerintah di Kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra, yatu Samudera Pasai antara lain sebagai berikut.

  1. Sultan Malik as-Saleh (696 H/1297 M).
  2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326 M).
  3. Sultan Mahmud Malik Zahir (+1346-1383 M).
  4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405 M).
  5. Sultan Nahrisyah (1405-1412 M).
  6. Sultan Abu Zain Malik Zahir (1412 M).

Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Saleh, Kesultanan Samudera Pasai mempunyai hubungan dengan Cina. Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan Samudera Pasai mengalami kemajuan di bidang politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan ekonomi perdagangan. Kesultanan Samudera Pasai mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan tersebut diperkuat dengan perkawinan.

Menurut lbnu Battuta, dalam bidang keagamaan di Kesultanan Samuderą Pasai dijelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan lsfahan. Dalam catatan lbnu Battuta juga disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama lslam yang bermazhab syafei.

Dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara, Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peran yang penting. Malaka memiliki hubungan yang erat dengan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu, Malaka menjadi kesultanan yang bercorak lslam. Hubungan Kesultanan Malaka dan Kesultanan Samudera Pasai semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Samudera Pasai dan Malaka. Hal tersebut membuat pada awal abad XV atau sekitar tahun 1414 M tumbuhlah Kesultanan Malaka yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.

Dalam perkembangan selanjutnya, Kesultanan-keusltanan Islam di Sumatra, terutama Samudera Pasai mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh beberapa hal berikut.

  1. Majapahit berambisi menyatukan Nusantara, yaitu pada tahun 1339 M Patih Majapahit Gajah Mada menyerang Kesultanan Samudera Pasai, tetapi belum berhasil.
  2. Berdirinya Bandar Malaka yang letaknya lebih strategis.

Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya adalah Aceh Darussalam. Kesultanan Aceh Darussalam berdiri pada tahun 1514 M dan terletak di ujung utara Pulau Sumatra. Adapun sumber sejarah mengenai Kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra, yaitu Kesultanan Aceh Darussalam sebagai berikut.

  1. Kitab Bustanussalatin, ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri pada tahun 1637 M.
  2. Genta perunggu Cakra Donya, merupakan hadiah kaisar Cina untuk Sultan Aceh.
  3. Gunongan, di bekas Taman Ghairah Kesultanan Aceh di Banda Aceh.
  4. Makam sultan-suitan Aceh di Banda Aceh.
  5. Masjid Raya Baiturrahman, dibangun oleh Sultan iskandar Muda.

Kesultanan Aceh berkembang sebagai salah satu kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra, Perkortangan posat Kesultanan Aceh tersebut tidak terlepas dari letak Kesultanan Aceh yang strategis, yaitu Pulau Sumatra bagian utara dekat jalur pelayaran dan perdagarngan irtsrnasioa) paa saat itu. Berikut beberapa faktor yang mendukung Kesultanan Aceh cepat tumbuh menjadi kesultanan besar.

  1. Letak ibu kota Aceh yang sangat strategis yaitu di pintu gerbarvg polayaran dai India dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, Cina, atau ke Jawa.
  2. Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
  3. Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada yang merupakan dagangan skspor yarg penting.
  4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menysbabkan pedagang islarn baryak yarg singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran beralih rnelalui sepanjarg partai barat Sumatra.

Adapun corak pemerintahan Aceh adaláh pernerirtahan sipil dan pemrintahan atas dasar agama. Pemerintahan sipil dipinpin oleh kaurn bangsavwan, Setiap karnpung(gampong) dipimpin oleh seorang ulebalang. Beberapa garnpong digabung rernjadi sagi yarg dipirnpin oleh seorang panglima sagi. Kaum bangsawan yang rmernegang kekuasaan sipil disetot teuku. Pemerintahan atas dasar agama, dilakukan dengan meyatukan beherapa gampong dengan sebuah masjid yang disebut mukirn. Kepala tiap-tiap mukim disebut imam, Kaum ulama yang berkuasa dalarn bidang keagamaan disebut dengan teungku.

Adapun sultan-sultan yang pernah mernerintah di Kesuitanan Aceh Darussalam artara lain sebagai berikut.

  1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M).
  2. Sultan Salahuddin (1528-1537 M).
  3. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M).
  4. Sultan lskandar Muda (1607-1636 M).
  5. Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M).

Pada tahun 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang Portugis yang ada di Malaka, tetapí tidak jadi karena Sultan Alí Mughayat Syah watat dan dimakamkan di Kandang Xl Banda Aceh.

Sultan Ali Mughayat Syah, kernudiarı diganti oleh Sultan Salahuddin. Namun, kemudian Sultan Salahuddin digantí oleh Sutan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar dilakukan usaha-usaha mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kesultanan Islam dí Timur Tengah (seperti Turki, Abessinia, dan Mesir). Pada tahun 1563, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar nengirirnkan utusan ke Konstantinopel untuk merminta bantuan untuk melawan Portugis. Dua tahun kermudian bantuan datang berupa teknisi-teknisí.

Untuk menjaga keutuhan kerjaaan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus. dua orang putra sultan diangkat rnenjadí Sultan Aru dan Sultan Paríarnan dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah-daerah pengaruhnya diternpatkan wakil-wakil dari Aceh.

Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan pada masa pernerintahan Suitan Iskandar Muda. Untuk mermperkuat kedudukan Kesultanan Aceh sebagaipusat perdagangan, Sultan Iskandar Muda melakukan beberapa tindakan sebagaí berikut.

  1. Merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Surnatra, serta pesisir
  2. Menyerang kedudukan Portugis di Malaka dan kapal-kapalnya yang melalui Selat Malaka. Aceh sempat menang perang melawan armada Portugis di sekitar Pulau Bintan pada tahun 1641.
  3. Bekeria sama dengan Inggris dan Belanda untuk mernperlermah penganh Porugis. Sutan iskandar Muda mengízinkarn persekutuan dagang kedua negara itu untuk membuka kantor dí Aceh.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalamí kemajuan seperti disusunnya suatu undang-undang tentang tata permerintahan yang disebut Adat Makuta Alam. Di bidang sastra dan fisatat juga mengalami kemajuan. Pada waktu tu muncul seorang ulama besar (Hamzah Fansuri) yang mengajarkan imu tasawuf dan pengarang buku tentang filsatat agama lslam dan syair keagamaan. Setelah Hamzah Fansuri meninggal, ajarannya disebarluaskan oleh salah seorang muridnya bernama Syamsuddin Pasai.

Sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kesultanan Aceh mengalani kernunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.

  1. Kekalahan Aceh dalam perang melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M.
  2. Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya.
  3. Permusuhan di antara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsudin as-Surmatrani dan penganut ajaran Nuruddin ar-Raniri.
  4. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat, seperti Johor, Perlak, Pahang. Minangkabau, dan Siak melepaskan diri dari Aceh.
  5. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah perdagangan Aceh. Akibatrnya perekornomian di Aceh menjadi lemah.

Kesultanan Siak Sri Indrapura

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya yang terletak di Riau adalah Siak Sri Indrapura. Pada masa pemerintahan Sultan Said Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyat. Sultan Said Ali berhasil memakmurkan kesultanan dan beliau dikenal sebagai sultan yang jujur. Daerah-daerah yang dahulu melepaskan diri dari Kesultanan Siak, berhasil dikuasai oleh Sultan Said Ali. Pada tahun 1811, Sultan Said Ali mengundurkan diri sebagai sultan dan diganti oleh putranya yang bernama Teungku lbrahim.

Pada masa pemerintahan Teungku lbrahim, Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami kemunduran hingga banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Selain itu, juga adanya períjanjan dengan VOC pada tahun 1822 di Bukit Batu. Isi perjanjan adalah menekankan Kesultanan Siak Sri Indrapura tidak boleh mengadakan ikatan atau perjanjian dengan negara lain kecuali derngan Belanda.

Kesultanan Kampar

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya yang terletak di Riau adalah Kampar. Sejak abad ke-15 Kesultanan Kampar berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka. Pada masa pemerintahan Sultan Abdullah, Kesultanan Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan (selaku pemegang kekuasaan Kemahasultanan Melayu). Akibat hal tersebut, Sultan Mahmud Syah mengirimkan pasukannya ke Kampar.

Untuk menghadapi serangan, Sultan Abdullah minta bantuan Portugis dan Kampar berhasil dipertahankan. Pada waktu Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, Kesultanan Kampar di bawah pembesar kesultanan (Mangkubumi Tun Perkasa). Mangkutbumi Tun Perkasa, kemudian mengirimkan utusan ke Kemahasultanan Melayu di bawah pirnpinan Sultan Abdul Jalil Syah l yang memohon agar Kampar ditempatkan sultan. Maka, dikirimkan seorang pembesar Kemahasultanan Melayu, Sultan Abdurrahman yang bergelar Mahasultan Dinda I. Setelah Mahasultan Dinda I diganti Mahasultan Dinda , pada tahun 1725 Mahasultan Dinda l memindahkan ibu kota Kesultanan Kampar ke Pelalawan yang kermudian mengganti Kesultanan Kampar menjadi Kesultanan Pelalawan.

Kesultanan Indragiri

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya yang terletak di Riau adalah Indragiri. Sebelum tahun 1641, Kesultanan Indragiri yang berada di bawah Kemahasultanan Malayu berhubungan erat dengan Portugis. Namun, setelah Malaka diduduki VOC, Kesultanan Indragiri mulai berhubungan dengan VOC. Pada tahun 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibu kota ke Japura. Namun, pada tanggal 5 Januari 1815 dipindahkan lagi ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Sultan Indragiri XVII. Adanya Tractat van Vrede en Vriend-Schap pada tanggal 27 Septemnber 1838 antara Kesultanan Indragiri dan Belanda menyebabkan kekuasaan politik Kesultanan Indragiri hilang.

Kesultanan Jambi

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya adalah Kesultanan Jambi. Menurut temuan arkeologis, kehadiran lslam di daerah Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Pada masa itu kemungkinan proses islamisasi masih terbatas pada perseorangan, Adapun proses islamisasi secara besar- besaran bersamaan tumbuh dan berkembangnya kesultanan lslam di Janbi sekitar tahun 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XIl” dari “Bangsa lIX” (anak Datuk Berhala).

Menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Datuk Paduka Berhala menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah muslin (turunan sultan-sultan Pagaruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultarn Kesultanan Jambi yang terkenal).

Pengganti Datuk Paduka Berhala adalah Orang Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya yaitu Putri Panjang Rambut. Adapun pengganti Orang Kayo Hitam adalah Panembahan llang di Aer yang setelah wafat dimakarmkan di Rantau Kapas. Beliau terkenal pula dengan nama Panembahan Rantau Kapas.

Masa pemerintahan Datuk Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, dan Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Adapun masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar tahun 1500 sampai 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hiyam sekitar tahun 1540 M, dan Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal, pemerintahan digantikan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada tahun 1615.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar, VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. VOC membeli hasil bumi Kesultanan Jambi terutama lada. Pada tahun 1616, dengan izin Sultan Jambi VOC mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Namun, beberapa tahun kemudian loji ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil buminya kepada VOC. Sejak itulah hubungan Kesultanan Jambi renggang. Pada tahun 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram.

Kesultanan Palembang

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya adalah Kesultanan Palembang. Sultan pertama Kesultanan Palembang adalah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/Kiai Mas Endi (1659-1706). Adapun sultan terakhir Kesultanan Palembang adalah Pangeran Kromojoyo/ Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1925).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada tahun 1610. Namun, karena kepentingan VOC tidak dipedulikan, sering terjadi kerenggangan. Pada „ tahun 1658, wakil dagang VOC Ockersz dan påsukannya ditbunuh dan dua kapalnya (Wachter dan Jacatra) dirampas. Akibat dari hal tersebut pada tanggal 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dan VOC di bawah pimpinan Joan van der Laen. Kesultanan Palembang, Kuta, dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab, serta bangsa lain yang berada di seberang dibakar. Selanjutnya, kota Palembang dapat direbut kembali dan dilakukan pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga sekarang dapat disaksikan walaupun sudah ada beberapa perubahan. Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, Kesultanan Palembang mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda (Perang Menteng). Serangan pasukan Belanda yang dipimpin J.C. Wolterboek yang terjadi pada tahun 1819 dapat dikalahkan oleh prajurit Kesultanan Palembang. Namun, Belanda menyerang lagi pada Juni 1821 dipímpin Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Il ditangkap dan dibuang ke Ternate.

Sejak tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapus dan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Kesultanan Minangkabau

Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumatra selanjutnya adalah Kesultanan Minangkabau. Diperkirakan wilayah kekuasaan Kerajaan Minangkabau meliputi wilayah Surmatra Sarat. Menurut Tome Pires, di Kerajaan Minangkabau ada tiga raja, yaitu raja adat untuk adat, raja ibadat untuk keagamaan, dan raja alam untuk urusan sehari-hari. Kerajaan Minangkabau menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, darmar, ilin, madu, kampar, dan kapur barus.

Pada abad ke-6 sampai ke-9, kehidupan di daerah Minangkabau antara kaum adat dan kaum ulama (padri) terlihat damai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kehidupan masyarakat Minangkabau dan para pembesarnya mulai melakukan kebiasaan yang kurang baik, seperti berjudi dan sabung ayam.

Adanya kebiasàan tersebut, membuat kaum padri mengutuk dan mengancam Sultan Alam Muning Syah (sultan Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung). Dalam suatu pertemuan, tiba-tiba memanas dan terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu pihak kerajaan mengalami kekalahan. Kekalahan pihak kerajaan tersetbut dimanfaatkan oleh Belanda untuk berpura-pura menawarkan bantuan pada pihak kerajaan. Dengan masuknya pengaruh Belanda tersebut, raja kerajaan diganti dengan Sultan Alam Banggar Syah (raja kecil di Tanah Datar). Dari tahun 1821-1838 terus terjadi peperangan. Pada tahun 1837, salah seorang pemimpin padri (Tuanku Imam Bonjol) ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian ke Minahasa. Dengan tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol, daerah Minangkabau menjadi bagian dari Hindia Belanda.


Dan tadi itu adalah penjelasan megenai kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra. Apabila teman-teman ingin mencari referensi lain, teman-teman bisa membaca juga artikel dari Gramedia, yaitu Sejarah kesultanan-kesultanan Islam di Sumatra di sini.

Baca kategori-kategori sejarah lainnya, juga membahas mengenai akulturasi kebudayaan, di sini!

4 Sejarah Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa, Lengkap Mudah Dipahami!
4 Sejarah Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa, Lengkap Mudah Dipahami!

Tinggalkan komentar